Kalseltenginfo.com, Banjarmasin – Setiap kali proses seleksi pimpinan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) digelar, aroma klasik selalu menyeruak: daftar calon didominasi pensiunan Kementerian Agama. Dari mantan kepala seksi, kabid, hingga eks pejabat eselon. Seolah BAZNAS adalah perpanjangan ruang kerja setelah masa purna tugas.
Padahal, zakat hari ini bukan sekadar urusan administratif atau seremonial keagamaan. Ia adalah instrumen ekonomi umat yang memerlukan sentuhan manajemen modern, kreativitas sosial, dan keahlian lintas bidang. Karena itu, sudah saatnya BAZNAS keluar dari bayang-bayang birokrasi dan mulai dikelola dengan semangat profesionalisme.
Zakat, infak, dan sedekah bukan hanya soal penghimpunan, tapi juga tentang kepercayaan publik. Masyarakat kini lebih selektif. Mereka ingin dana zakatnya dikelola dengan transparan, berdampak, dan terukur. Maka, kemampuan mengelola lembaga filantropi di era digital menuntut lebih dari sekadar pengalaman di meja birokrasi. Dibutuhkan orang yang paham branding, ekonomi sosial, komunikasi publik, dan inovasi keuangan syariah.
Potensi zakat di Kalimantan Selatan, misalnya, mencapai Rp 3,1 triliun per tahun, namun realisasi penghimpunan baru sekitar lima persen. Ini bukan karena umat enggan berzakat, tetapi karena masih lemahnya literasi dan strategi penghimpunan. Di sinilah pentingnya keberagaman kompetensi dalam tubuh BAZNAS , agar gerakan zakat tak berhenti di meja pengumpulan, melainkan bergerak menjadi kekuatan ekonomi umat.
Seorang ahli administrasi akan memastikan sistem berjalan tertib dan efisien. Ahli ekonomi dapat menilai arah penyaluran agar memberdayakan, bukan sekadar memberi. Ahli media mampu membangun citra dan kepercayaan publik. Sedangkan ahli pemasaran paham cara menumbuhkan loyalitas muzaki di tengah kompetisi lembaga filantropi.
Karena itulah, BAZNAS tak seharusnya diisi oleh satu warna latar belakang saja. Kalau pun ada pensiunan Kemenag yang terpilih, biarlah hadir karena kapasitas dan integritasnya, bukan karena rombongan yang datang serentak membawa bendera nostalgia institusi. BAZNAS adalah lembaga publik, bukan klub eks-pejabat.
Zakat hari ini adalah gerakan besar yang harus dikelola secara modern, berbasis data, dikelola dengan prinsip korporasi sosial, dan dikomunikasikan dengan pendekatan humanis. Dunia zakat telah berubah: dari karung beras di masjid, kini menuju ekosistem digital yang terhubung global.
Karena itu, BAZNAS memerlukan pemimpin yang berpikir strategis, komunikatif, dan berjiwa muda. Pemimpin yang bisa bicara dengan pemerintah, tapi juga paham bahasa anak muda dan dunia digital.
BAZNAS bukan tempat istirahat bagi mereka yang selesai bekerja.
BAZNAS adalah tempat bagi mereka yang ingin bekerja untuk menyelesaikan persoalan umat.
Helmi Rifai SH
Pimpinan Umum Media online Kaleltenginfo.com





