Menjaga Marwah Sumpah Pemuda di Era Digital, Oleh : Helmi Rifai, S.H. – Pimpinan Umum Kalseltenginfo.com

oleh -329 views

Kalseltenginfo.com, Banjarmasin – Sembilan puluh tujuh tahun lalu, di sebuah rumah sederhana di Jakarta, sekelompok pemuda dari berbagai daerah menorehkan sejarah besar: Sumpah Pemuda. Mereka menanggalkan sekat kedaerahan, perbedaan bahasa, dan identitas kecil lainnya demi satu cita-cita besar, yakni Indonesia yang satu.

Tiga kalimat yang diikrarkan pada 28 Oktober 1928 itu bukan sekadar janji, tetapi kompas moral bangsa: satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa ,yaitu Indonesia.

Sebuah ikrar yang mengikat rasa kebangsaan lebih kuat dari apapun, bahkan dari senjata.

Namun, apa makna Sumpah Pemuda di zaman digital seperti sekarang, ketika batas antarwilayah, budaya, dan ide nyaris lenyap oleh teknologi?
Apakah semangat itu masih hidup di antara derasnya arus scroll, share, dan viral?

Dulu, para pemuda berjuang dengan pena, selebaran, dan rapat-rapat kecil di rumah-rumah kongsi. Kini, generasi muda memegang alat perjuangan yang jauh lebih kuat, gawai dan internet.
Tetapi kekuatan besar itu datang bersama tanggung jawab besar.

Di era digital, nasionalisme diuji bukan di medan perang, melainkan di ruang komentar dan linimasa media sosial.

Hoaks, ujaran kebencian, dan disinformasi sering menjadi racun yang menggerogoti semangat persatuan yang diwariskan para pendahulu.

Menjaga marwah Sumpah Pemuda berarti menggunakan teknologi untuk menyatukan, bukan memecah. Itu berarti menjadikan ruang digital sebagai wadah berbagi inspirasi, bukan arena saling menjatuhkan.

Menjadi Pemuda yang Melek Nilai, Bukan Sekadar Melek Digital

Generasi muda hari ini adalah generasi paling terdidik dan terkoneksi sepanjang sejarah Indonesia. Tapi di balik kemudahan itu, seringkali nilai-nilai kebangsaan menjadi kabur.

Kecintaan terhadap tanah air tidak lagi diukur dari seragam merah putih di dada, tetapi dari sejauh mana mereka berkontribusi dalam menjaga kejujuran, empati, dan solidaritas di tengah masyarakat yang semakin cair.

Menjaga marwah Sumpah Pemuda berarti juga menjaga karakter.
Tidak cukup hanya pintar berdebat di ruang publik digital, tetapi juga mampu menunjukkan teladan, bekerja nyata, dan menjadi pelita di lingkungannya.

Pemuda masa kini seharusnya tidak hanya bangga menjadi “netizen kritis”, tetapi juga menjadi “warga negara solutif”.

Mungkin hari ini kita tidak lagi perlu bersumpah di hadapan teks seperti pada 1928. Tetapi setiap kali seorang anak muda menolak ikut menyebar hoaks, itu adalah bentuk sumpah baru.

Setiap kali ia membela kebenaran di tengah gelombang disinformasi, itu adalah bentuk sumpah baru.

Dan setiap kali ia menulis, berkarya, atau berinovasi untuk kebaikan bangsa, itu adalah perwujudan nyata dari Sumpah Pemuda di zaman digital.
Bangsa ini tidak akan kehilangan arah selama semangat persatuan tetap dijaga di hati generasi mudanya.

Teknologi hanyalah alat; semangat dan nilai-lah yang menentukan ke mana Indonesia akan melangkah.

Sejatinya Sumpah Pemuda mengajarkan kita bahwa bangsa besar lahir dari mimpi dan keberanian anak mudanya.

Di tengah derasnya arus globalisasi dan godaan digital yang tanpa batas, tugas generasi muda kini bukan lagi memerdekakan tanah air, tetapi memerdekakan pikiran dan moral dari keterbelahan dan kebencian.

Marwah Sumpah Pemuda harus tetap hidup adalah bukan hanya di kalender setiap Oktober, tetapi di setiap langkah dan jari yang mengetik di layar ponsel kita.

Karena menjaga Indonesia hari ini, berarti menjaga warisan suci para pemuda 1928 untuk tetap abadi di masa depan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.