Kalseltenginfo.com, Banjarmasin – Setiap tanggal 1 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Upacara digelar di berbagai sekolah, instansi pemerintah, hingga ruang publik. Bagi sebagian orang, ini hanya bagian dari rutinitas tahunan. Namun, bagi saya sebagai jurnalis, peringatan ini bukan sekadar seremoni, melainkan ajakan untuk kembali menengok sejarah dan menimbang ulang makna Pancasila dalam kehidupan hari ini.
Sejarah mencatat, peringatan ini lahir dari peristiwa kelam 30 September 1965. Tujuh perwira TNI Angkatan Darat gugur, dan keesokan harinya Indonesia berada di persimpangan sejarah: apakah dasar negara akan runtuh atau tetap berdiri. Pancasila dinyatakan tegak, dan sejak saat itu 1 Oktober dikenang sebagai Hari Kesaktian Pancasila.
Namun, “kesaktian” itu tidak semestinya dipahami sebatas mitos. Kesaktian Pancasila lahir karena rakyat Indonesia bersatu mempertahankannya dari ancaman ideologi lain. Pertanyaannya kini, bagaimana wujud kesaktian Pancasila di era modern, ketika ancamannya bukan lagi kudeta bersenjata, melainkan ketidakadilan, intoleransi, dan polarisasi?
Dalam peliputan sehari-hari, saya dan kawan-kawan sering menemukan ironi. Sila kedua menekankan “kemanusiaan yang adil dan beradab”, tetapi kasus diskriminasi masih terjadi. Sila kelima menjanjikan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, namun kesenjangan ekonomi kian menganga. Di media sosial, alih-alih menghidupi sila ketiga tentang “persatuan Indonesia”, polarisasi politik justru semakin menajamkan perpecahan.
Di titik ini, tugas jurnalis adalah mengingatkan publik, jangan sampai Pancasila hanya berhenti sebagai teks dalam pidato atau hafalan di sekolah. Ia harus hidup dalam praktik keseharian. Gotong royong warga desa membangun jalan, mahasiswa yang memperjuangkan keadilan, komunitas lintas iman yang hidup rukun, itulah contoh nyata kesaktian Pancasila yang sesungguhnya.
Bagi saya, peringatan Hari Kesaktian Pancasila adalah alarm moral. Ia mengingatkan bahwa dasar negara ini pernah diguncang, namun tetap tegak. Tugas generasi hari ini bukan lagi mempertahankan Pancasila dari senjata, melainkan dari sikap abai dan lupa pada nilai-nilainya.
Sebagai jurnalis, saya percaya setiap berita yang jujur, setiap liputan yang berpihak pada kebenaran, dan setiap tulisan yang menjaga nurani, adalah bagian dari menjaga Pancasila tetap sakti. Karena Pancasila hanya akan benar-benar hidup, bila dijalankan, bukan sekadar dikenang.
Helmi Rifai SH, adalah Pemimpin Umum Kalseltenginfo.com